Photobucket
MOHON MAAF BLOG INI MASIH PERLU PERBAIKAN...KU PERSEMBAHKAN KEPADA BUNDA ANI WANITA BERMENTAL BAJA DAN BERHATI BERLIAN BUNDA KAMI DI SPS UPI BANDUNG PRODI PENDIDIKAN UMUM (S2-2007)

Jumat, 07 November 2008

kisah seokor burung pipit

Ketika musim kemarau baru saja mulai, seekor Burung Pipit mulai merasakan tubuhnya kepanasan, lalu mengumpat pada lingkungan yang dituduhnya tidak bersahabat.Dia lalu memutuskan untuk meninggalkan tempat yang sejak dahulu menjadi habitatnya, terbang jauh ke utara yang konon kabarnya, udaranya selalu dingin dan sejuk.

Benar, pelan pelan dia merasakan kesejukan udara, makin ke utara makin sejuk, dia semakin bersemangat memacu terbangnya lebih ke utara lagi. Terbawa oleh nafsu, dia tak merasakan sayapnya yang mulai tertempel salju, makin lama makin tebal, dan akhirnya dia jatuh ke tanah karena tubuhnya terbungkus salju.Sampai ke tanah, salju yang menempel di sayapnya justru bertambah tebal. Si Burung pipit tak mampu berbuat apa apa, menyangka bahwa riwayatnya telah tamat.

Dia merintih menyesali nasibnya. Mendengar suara rintihan, seekor Kerbau yang kebetulan lewat datang menghampirinya. Namun si Burung kecewa mengapa yang datang hanya seekor Kerbau, dia menghardik si Kerbau agar menjauh dan mengatakan bahwa makhluk yang tolol tak mungkin mampu berbuat sesuatu untuk menolongnya.

Si Kerbau tidak banyak bicara, dia hanya berdiri, kemudian kencing tepat diatas burung tersebut. Si Burung Pipit semakin marah dan memaki maki si Kerbau. Lagi-lagi Si kerbau tidak bicara, dia maju satu langkah lagi, dan mengeluarkan kotoran ke atas tubuh si burung.Seketika itu si Burung tidak dapat bicara karena tertimbun kotoran kerbau. Si Burung mengira lagi bahwa mati tak bisa bernapas.Namun perlahan lahan, dia merasakan kehangatan, salju yang membeku pada bulunya pelan pelan meleleh oleh hangatnya tahi kerbau, dia dapat bernapas lega dan melihat kembali langit yang cerah. Si Burung Pipit berteriak kegirangan, bernyanyi keras sepuas puasnya-nya.

Mendengar ada suara burung bernyanyi, seekor anak kucing menghampiri sumber suara, mengulurkan tangannya, mengais tubuh si burung dan kemudian menimang nimang, menjilati, mengelus dan membersihkan sisa-sisa salju yang masih menempel pada bulu si burung. Begitu
bulunya bersih, Si Burung bernyanyi dan menari kegirangan, dia mengira telah mendapatkan teman yang ramah dan baik hati.Namun apa yang terjadi kemudian, seketika itu juga dunia terasa gelap gulita bagi si Burung, dan tamatlah riwayat si Burung Pipit ditelan oleh si Kucing.

# Dari kisah ini, banyak pesan moral yang dapat dipakai sebagai pelajaran:

1. Halaman tetangga yang nampak lebih hijau, belum tentu cocok buat kita.

2. Baik dan buruknya penampilan, jangan dipakai sebagai satu satunya ukuran.

3. Apa yang pada mulanya terasa pahit dan tidak enak, kadang kadang bisa berbalik membawa hikmah yang menyenangkan, dan demikian pula sebaliknya.

4. Ketika kita baru saja mendapatkan kenikmatan, jangan lupa dan jangan terburu nafsu, agar tidak kebablasan.

5. Waspadalah terhadap Orang yang memberikan janji yang berlebihan

[+/-] Selengkapnya...

kado ulang tahun dari mama

Setiap tanggal 7 Juni Mama selalu merayakan ulang tahunku. Pada ulang tahunku yang ke 12, mama memberiku sebuah kado yang sangat menarik. Sebuah sepeda mini termahal yang pernah dijual di Indonesia.
Aku senang menerima hadiah dari mama. Bukan saja karena harganya yang sangat mahal, tetapi juga karena mama memperbolehkan aku bersepeda ke sekolah.
"Ketika usiamu menginjak 12 tahun engkau boleh bersepeda ke sekolah," kata mama suatu hari.
"Kenapa harus menunggu usia 12 tahun?" aku bertanya dengan kesal.
"Tubuhmu kecil Nita. Kalau engkau bersepeda pada usia 10 tahun, aku khawatir akan keselamatanmu. Kendaraan yang begitu padat selalu menghantuiku."
Akhirnya aku memaklumi kekhawatiran mama.
Kini aku boleh bersepeda ke sekolah. Teman-temanku menyambutku dengan riang. Mereka senang karena aku mempunyai sepeda baru.
"Aku boleh pinjam ya Nita?" seru Triana sambil mendekatiku.
"Aku juga ya Nita?" kata yang lain.
Aku mengangguk lemah. Bukan aku tidak mau memberi pinjaman kepada teman. Aku khawatir mereka tidak bisa bersepeda dengan baik. Jika jatuh tentu sepedaku lecet, atau ada bagian yang rusak. Tapi tak mungkin aku menolak keinginannya.
"Tapi hati-hati ya!" seruku mengingatkan.
Triana senang sekali ketika aku mengijinkan dia naik sepeda. Selama ini dia tidak pernah mempunyai sepeda. Kalau ingin naik sepeda selalu pinjam teman. Biasanya teman-teman jarang yang memberi pinjaman. Alasannya sederhana saja, takut sepedanya rusak.
Aku hanya melihat-lihat Triana bersepeda. Suatu saat hampir saja ia jatuh, tapi aku berhasil menangkapnya. Setelah itu aku tidak memperbolehkannya lagi. Setelah Triana kini Nunung yang pinjam. Karena aku sudah berjanji untuk memberikan pinjaman maka kuberikan sepeda kesayanganku.
Nunung lebih mahir bersepeda dari pada Triana, walaupun begitu dia agak ugal-ugalan. Di tempat yang sempit pun dia berani naik sepeda. Karena sikapnya yang ugal-ugalan itu maka ia terjatuh. Aku menjerit tapi Nunung hanya tersenyum saja.
"Wah...pasti aku dimarahi mama," kataku kepada Nunung.
"Ah begitu saja marah. Mana mungkin mamamu akan marah? Bukankan kamu anak kesayangan?" kata Nunung tanpa memperdulikan perasaanku.
"Enak saja kamu berbicara. Di rumah pasti mama memarahiku. Bisa-bisa aku tidak boleh naik sepeda lagi."
Ketika pulang sekolah hatiku bimbang. Pikiranku hanya teringat mama. Kalau aku bercerita terus terang tentu mama akan marah, tapi jika aku berbohong aku merasa berdosa. Kini sayap depan sepedaku terkelupas sedikit. Mama pasti akan mengetahuinya. Karena itu aku akan bercerita terus terang.
"Bagaimana Nita enak kan memakai sepeda baru?"
Aku mengangguk.
"Lho, kenapa wajahmu kusam? Ada apa, sayang?"
Aku secepatnya menjelaskan masalahnya. Hatiku bimbang.
"Jadi temanmu yang jatuh?"
Aku mengangguk.
"Semahal apapun sepeda tidak lebih baik dari persahabatan," kata mama dengan wajah tenang.
"Maksud mama?"
"Jangan risaukan semua itu. Mama memang memberimu hadiah ulang tahun, tapi mana mungkin engkau sendiri yang akan naik sepeda? Bukankah teman-temanmu juga ingin mencobanya?"
Sungguh aku malu kepada Nunung. Ketika Nunung menjatuhkan sepedaku, aku cemberut dan marah-marah. Ternyata mama justru sebaliknya.
"Apakah engkau memarahi Nunung?"
"Tentu saja Ma. Aku sayang sekali dengan sepeda baru itu. Mama membelinya dengan uang yang sangat banyak."
Mama tertawa mendengar pengakuanku.
"Nita, Nita...sekali lagi mama katakan...jangan engkau tukar persahabatan dengan sebuah sepeda. Jika engkau tidak mempunyai teman, pasti engkau susah. Tetapi jika kamu bersepeda dengan sepeda yang rusak sedikit, engkau masih tetap bahagia."
Keesokan harinya, aku buru-buru menemui Nunung. Aku ingin minta maaf karena aku marah-marah kepadanya. Tetapi kata Triana, Nunung tidak masuk sekolah karena takut telah merusak sepedaku. Aku mengajak Triana ke rumah Nunung. Begitu tahu kedatanganku, Nunung berlari masuk ke rumahnya.
"Nunung, aku datang untuk minta maaf kepadamu. Mama tidak memarahiku, mama maklum kesalahanmu. Karena itu aku kemari ingin minta maaf."
Tak berapa lama, Nunung keluar dari kamarnya dan segera memelukku.
"Maafkan aku, Nita. Aku telah merusak sepeda kesayanganmu!"
"Maafkan aku juga Nung. Aku terlalu emosi!"
Kami menjadi teman baik kembali.

[+/-] Selengkapnya...

buaya yang tidak jujur

Ada sebuah sungai di pinggir hutan. Di sungai itu hiduplah sekelompok buaya. Buaya itu ada yang berwarna putih, hitam, dan belang-belang. Meskipun warna kulit mereka berbeda, mereka selalu hidup rukun.
Di antara buaya-buaya itu ada seekor yang badannya paling besar. Ia menjadi raja bagi kelompok buaya tersebut. Raja buaya memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga dicintai rakyatnya.
Suatu ketika terjadi musim kemarau yang amat panjang. Rumput-rumput di tepi hutan mulai menguning. Sungai-sungai mulai surut airnya. Binatang-binatang pemakan rumput banyak yang mati.
Begitu juga dengan buaya-buaya. Mereka sulit mencari daging segar. Kelaparan mulai menimpa keluarga buaya. Satu per satu buaya itu mati.

Setiap hari ada saja buaya yang menghadap raja. Mereka melaporkan bencana yang dialami warga buaya. Ketika menerima laporan tersebut, hati raja buaya merasa sedih.
Untung Raja Buaya masih memiliki beberapa ekor rusa dan sapi. Ia ingin membagi-bagikan daging itu kepada rakyatnya.

Raja Buaya kemudian memanggil Buaya Putih. Dan Buaya Hitam. Raja Buaya lalu berkata, “Aku tugaskan kepada kalian berdua untuk membagi-bagikan daging. Setiap pagi kalian mengambil daging di tempat ini. Bagikan daging itu kepada teman-temanmu!”
“Hamba siap melaksanakan perintah Paduka Raja,” jawab Buaya Hitam dan putih serempak.
“Mulai hari ini kerjakan tugas itu!”perintah Raja Buaya lagi.
Kedua Buaya itu segera memohon diri. Mereka segera mengambil daging yang telah disediakan. Tidak lama kemudian mereka pergi membagi-bagikan daging itu.

Buaya Putih membagikan makanan secara adil. Tidak ada satu buaya pun yang tidak mendapat bagian. Berbeda dengan Buaya Hitam, daging yang seharusnya dibagi-bagikan, justru dimakannya sendiri. Badan Buaya Hitam itu semakin gemuk.
Selesai membagi-bagikan daging, Buaya Putih dan Buaya Hitam kembali menghadap raja.
“Hamba telah melaksanakan tugas dengan baik, Paduka,” lapor Buaya Putih.
“Bagus! Bagus! Kalian telah menjalankan tugas dengan baik,” puji Raja.
Suatu hari setelah membagikan makanan,Buaya Putih mampir ke tempat Buaya Hitam. Ia terkejut karena di sana-sini banyak bangkai buaya.

Sementara tidak jauh dari tempat itu Buaya Hitam tampak sedang asyik menikmati makanan. Buaya Putih lalu mendekati Buaya Hitam.
“Kamu makan jatah makanan temen-teman, ya?”
“Kamu biarkan mereka kelaparan!” ujar Buaya Putih.
“Jangan menuduh seenaknya!” tangkis Buaya Hitam.
“Tapi, lihatlah apa yang ada di depanmu itu!” sahut Buaya Putih sambil menunjuk seekor buaya yang mati tergeletak.
“Itu urusanku, engkau jangan ikut campur! Aku memang telah memakan jatah mereka. engkau mau apa?” tantang Buaya Hitam.
“Kurang ajar!” ujar Buaya Putih sambil menyerang Buaya Hitam. Perkelahian pun tidak dapat dielakkan. Kedua buaya itu bertarung seru. Akhirnya, Buaya Hitam dapat dikalahkan.
Buaya Hitam lalu dibawa kehadapan Raja. Beberapa buaya ikut mengiringi perjalanan mereka. Di hadapan Sang Raja, Buaya Putih segera melaporkan kelakuan Buaya Hitam. Buaya Hitam lalu mendapat hukuman mati karena kejahatannya itu.

“Buaya Putih, engkau telah berlaku jujur, adil, serta patuh. Maka kelak setelah aku tiada, engkaulah yang berhak menjadi raja menggantikanku,” demikian titah Sang Raja kepada Buaya Putih

[+/-] Selengkapnya...

aladin dan lampu wasiat

Dahulu kala, di kota Persia, seorang Ibu tinggal dengan anak laki-lakinya yang bernama Aladin. Suatu hari datanglah seorang laki-laki mendekati Aladin yang sedang bermain. Kemudian laki-laki itu mengakui Aladin sebagai keponakannya. Laki-laki itu mengajak Aladin pergi ke luar kota dengan seizin ibu Aladin untuk membantunya. Jalan yang ditempuh sangat jauh. Aladin mengeluh kecapaian kepada pamannya tetapi ia malah dibentak dan disuruh untuk mencari kayu bakar, kalau tidak mau Aladin akan dibunuhnya. Aladin akhirnya sadar bahwa laki-laki itu bukan pamannya melainkan seorang penyihir. Laki-laki penyihir itu kemudian menyalakan api dengan kayu bakar dan mulai mengucapkan mantera. "Kraak…" tiba-tiba tanah menjadi berlubang seperti gua.

Dalam lubang gua itu terdapat tangga sampai ke dasarnya. "Ayo turun! Ambilkan aku lampu antik di dasar gua itu", seru si penyihir. "Tidak, aku takut turun ke sana", jawab Aladin. Penyihir itu kemudian mengeluarkan sebuah cincin dan memberikannya kepada Aladin. "Ini adalah cincin ajaib, cincin ini akan melindungimu", kata si penyihir. Akhirnya Aladin menuruni tangga itu dengan perasaan takut. Setelah sampai di dasar ia menemukan pohon-pohon berbuah permata. Setelah buah permata dan lampu yang ada di situ dibawanya, ia segera menaiki tangga kembali. Tetapi, pintu lubang sudah tertutup sebagian. "Cepat berikan lampunya !", seru penyihir. "Tidak ! Lampu ini akan kuberikan setelah aku keluar", jawab Aladin. Setelah berdebat, si penyihir menjadi tidak sabar dan akhirnya "Brak!" pintu lubang ditutup oleh si penyihir lalu meninggalkan Aladin terkurung di dalam lubang bawah tanah. Aladin menjadi sedih, dan duduk termenung. "Aku lapar, Aku ingin bertemu ibu, Tuhan, tolonglah aku !", ucap Aladin.

Aladin merapatkan kedua tangannya dan mengusap jari-jarinya. Tiba-tiba, sekelilingnya menjadi merah dan asap membumbung. Bersamaan dengan itu muncul seorang raksasa. Aladin sangat ketakutan. "Maafkan saya, karena telah mengagetkan Tuan", saya adalah peri cincin kata raksasa itu. "Oh, kalau begitu bawalah aku pulang kerumah." "Baik Tuan, naiklah kepunggungku, kita akan segera pergi dari sini", ujar peri cincin. Dalam waktu singkat, Aladin sudah sampai di depan rumahnya. "Kalau tuan memerlukan saya panggillah dengan menggosok cincin Tuan."

Aladin menceritakan semua hal yang di alaminya kepada ibunya. "Mengapa penyihir itu menginginkan lampu kotor ini ya ?", kata Ibu sambil menggosok membersihkan lampu itu. "Syut !" Tiba-tiba asap membumbung dan muncul seorang raksasa peri lampu. "Sebutkanlah perintah Nyonya", kata si peri lampu. Aladin yang sudah pernah mengalami hal seperti ini memberi perintah,"kami lapar, tolong siapkan makanan untuk kami". Dalam waktu singkat peri Lampu membawa makanan yang lezat-lezat kemudian menyuguhkannya. "Jika ada yang diinginkan lagi, panggil saja saya dengan menggosok lampu itu", kata si peri lampu.

Demikian hari, bulan, tahunpun berganti, Aladin hidup bahagia dengan ibunya. Aladin sekarang sudah menjadi seorang pemuda. Suatu hari lewat seorang Putri Raja di depan rumahnya. Ia sangat terpesona dan merasa jatuh cinta kepada Putri Cantik itu. Aladin lalu menceritakan keinginannya kepada ibunya untuk memperistri putri raja. "Tenang Aladin, Ibu akan mengusahakannya". Ibu pergi ke istana raja dengan membawa permata-permata kepunyaan Aladin. "Baginda, ini adalah hadiah untuk Baginda dari anak laki-lakiku." Raja amat senang. "Wah..., anakmu pasti seorang pangeran yang tampan, besok aku akan datang ke Istana kalian dengan membawa serta putriku".

Setelah tiba di rumah Ibu segera menggosok lampu dan meminta peri lampu untuk membawakan sebuah istana. Aladin dan ibunya menunggu di atas bukit. Tak lama kemudian peri lampu datang dengan Istana megah di punggungnya. "Tuan, ini Istananya". Esok hari sang Raja dan putrinya datang berkunjung ke Istana Aladin yang sangat megah. "Maukah engkau menjadikan anakku sebagai istrimu ?", Tanya sang Raja. Aladin sangat gembira mendengarnya. Lalu mereka berdua melaksanakan pesta pernikahan.

Nun jauh disana, si penyihir ternyata melihat semua kejadian itu melalui bola kristalnya. Ia lalu pergi ke tempat Aladin dan pura-pura menjadi seorang penjual lampu di depan Istana Aladin. Ia berteriak-teriak, "tukarkan lampu lama anda dengan lampu baru !". Sang permaisuri yang melihat lampu ajaib Aladin yang usang segera keluar dan menukarkannya dengan lampu baru. Segera si penyihir menggosok lampu itu dan memerintahkan peri lampu memboyong istana beserta isinya dan istri Aladin ke rumahnya.

Ketika Aladin pulang dari berkeliling, ia sangat terkejut. Lalu memanggil peri cincin dan bertanya kepadanya apa yang telah terjadi. "Kalau begitu tolong kembalikan lagi semuanya kepadaku", seru Aladin. "Maaf Tuan, tenaga saya tidaklah sebesar peri lampu," ujar peri cincin. "Baik kalau begitu aku yang akan mengambilnya. Tolong Antarkan kau kesana", seru Aladin. Sesampainya di Istana, Aladin menyelinap masuk mencari kamar tempat sang Putri dikurung. "Penyihir itu sedang tidur karena kebanyakan minum bir", ujar sang Putri. "Baik, jangan kuatir aku akan mengambil kembali lampu ajaib itu, kita nanti akan menang", jawab Aladin.

Aladin mengendap mendekati penyihir yang sedang tidur. Ternyata lampu ajaib menyembul dari kantungnya. Aladin kemudian mengambilnya dan segera menggosoknya. "Singkirkan penjahat ini", seru Aladin kepada peri lampu. Penyihir terbangun, lalu menyerang Aladin. Tetapi peri lampu langsung membanting penyihir itu hingga tewas. "Terima kasih peri lampu, bawalah kami dan Istana ini kembali ke Persia". Sesampainya di Persia Aladin hidup bahagia. Ia mempergunakan sihir dari peri lampu untuk membantu orang-orang miskin dan kesusahan.

[+/-] Selengkapnya...

aini dan burung kecil

Aini berulang tahun. Ia gadis kecil yang manis. Hari ulang tahunnya dirayakan dengan pesta kecil yang meriah. Halaman belakang rumahnya dihiasi banyak balon, pita, dan bunga-bunga. Hiasan itu pemberian dari Bibi Anya, adik ibunya. Taman kecil di belakang rumah itu jadi indah sekali.


Pesta ulang tahun itu diisi doa. Mereka berdoa agar Aini selalu diberi kebahagiaan. Lalu nyanyian selamat ulang tahun yang ramai. Barulah acara makan yang menyenangkan. Ulang tahun yang melelahkan, tapi menyenangkan.

Aini menerima banyak kado. Bungkus dan pita-pitanya sangat indah, Setelah pesta selesai, Aini membuka kado-kado itu, satu persatu. Hadiahnya macam-macam. Ada banyak buku cerita, pensil warna, sepatu, boneka, topi, dan banyak lagi. Aini senang sekali.

Namun masih ada satu kado yang belum dibukannya. Apa itu? Kado itu cukup besar, dibungkus kain biru nan indah. Aini tak sabar membukanya. Hop! Aaah, sebuah sangkar keperakan. Di dalamnya ada seekor burung yang cantik. Bulu burung itu berwarna merah, kuning, dan hijau. Aini kaget melihatnya. Namun kemudian ia merasa senang, karena burung itu sangat cantik.

"Kau kunamai Mungil," kata Aini pada burung itu. Aini merasa, itulah hadiah ulang tahun yang paling indah. Ia kemudian menaruh Mungil dan sangkarnya di meja taman. Halaman belakang yang ditumbuhi bunga dan pohon tinggi. "Oh, Mungil, menyanyilah," pinta Aini, setiap ia mengengok burung kecil itu. Namun burung itu tak mau menyanyi. "Oh, burung yang lucu, menyanyilah," pinta Aini lagi. Mungil masih saja diam. Ia seperti sedang bersedih. "Mungil sayang, apakah engkau bersedih?" tanya Aini. Burung itu mengangguk. "Apakah engkau ingin keluar dari sangkarmu?" tanya gadis kecil itu. Burung itu mengangguk lagi. "Baiklah, kau akan kulepaskan," kata Aini. Ia membuka pintu sangkar. Brrrr... Mungil pun terbang. Kepak sayapnya sangat indah. "Selamat jalan, Pelangiku," kata Aini.

Ia sedih karena kehilangan burung kesayangannya. Ia pun mulai kelihatan murung. Pengasuhnya jadi sedih melihat Aini seperti itu. "Pakailah topi ini. Kau akan kelihatan seperti seorang putri," katanya. Ia memeperlihatkan sebuah topi lebar hadiah ulang tahun dari ayahnya. Aini menggeleng. "Aku kangen pada Mungil," katanya. "Oh, itukah nama burung itu?" tanya pengasuh. Aini mengangguk. "Apakah engkau melepaskan Mungil?" sang pengasuh bertanya lagi. "Ya, karena aku tak ingin Mungil bersedih. Ia tak mau tinggal dalam sangkar." "Kalau begitu jangan sedih, Aini. Mungil pasti sedang bergembira. Ia terbang sekarang. Ia senang melihat pemandangan dari angkasa. Kau tahu, Aini sayang. Burung sangat suka terbang," katanya. "Benarkah ia bahagia?" tanya Aini. "Aku yakin, Aini. Suatu hari, Mungil akan datang. Ia akan berterima kasih padamu. Karena engkau melepaskannya," kata pengasuhnya. Pengasuh Aini benar. Esok harinya, Mungil datang menjumpai Putri. Burung itu berdiri di atas cabang pohon. Sayapnya dikepakkan. Lalu Mungil bernyanyi, "Trilili tralala... trilili tralala..." Aini terkejut. Namun ia senang sekali. Ia senang melihat burung itu hinggap di cabang pohon. "Burung kecilku, kau kembali!" serunya. Semenjak itu Mungil datang setiap pagi. Aini pun selalu menyambutnya dengan gembira. Mungil selalu berkicau dengan indah. Akhirnya Aini dan Mungil sama-sama bahagia

[+/-] Selengkapnya...